A. Problematika Pendidikan
Problematika berasal dari akar kata bahasa Inggris “problem” artinya, soal, masalah atau teka-teki. Juga berarti problematik, yaitu ketidak tentuan. Pendidikan adalah usaha yang sengaja dilakukan oleh orang dewasa untuk membantu anak untuk mencapai kedewasaannya.
Untuk membantu, membimbing serta mengarahkan anak mencapai sebuah kedewasaan diperlukan pendidkan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas itu adalah pendidikan yang menanamkan daya-daya kemampuan, baik yang berhubungan dengan pengalaman kognitif (daya pengetahuan), afektif (aspek sikap) maupun psikomotorik (aspek ketrampilan) yang dimiliki oleh seorang individu.
Namun pada kenyataannya pendidikan di Indonesia ini tidak sesuai dengan kualitas pendidikan yang diharapkan semua pihak baik itu pemerintah, pendidik, maupun peserta didik. Hal ini menyebabkan munculnya problematika-problematika pendidikan diantaranya yaitu:
1. Kebijakan –kebijakan pemerintah dalam pendidikan.
2. Ketidak provesiolannya tenaga pendidik berimbas pada peserta didik.
3. Rendahnya mutu output pendidikan.
B. Problematika yang Muncul dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
1. Kebijakan-kebijakan Pemerintah dalam Pendidikan
Salah satu faktor utama untuk mencapai kemakmuran suatu negara yaitu dengan pendidikan. Negara Indonesia telah dengan tegas menyebutkan dalam pasal 31 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Dan ayat (4) menugaskan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan daerah (APBD). Dari ayat (4), jelaslah bahwa negara kita menempatkan pendidikan pada prioritas pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu diprioritaskan negara, sebab sangat terkait erat dengan pembangunan sumber daya manusia masa depan. Namun, sepertinya pemerintah telah kehilangan komitmen mengenai arti pendidikan dalam membangun kembali bangsa Indonesia dan untuk mewujudkan cita-cita reformasi.
a. Masalah Kurikulum
Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan sebanyak 11 kali, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan yang terjadi itu memang wajar karena merupakan dampak dari tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Meski begitu, eksekusi dan pelaksanaan kurikulum yang terus berubah selalu diwarnai dengan berbagai problem yang muncul bersamaan dengan palaksanaan kurikulum baru tersebut. Seperti halnya penerapan kurikulum 2013 oleh pemerintah. Terjadi pro dan kontra dengan adanya kurikulum 2013 tersebut, baik oleh pengamat pendidikan, guru, maupun orangtua murid.
Kurikulum 2013 menuai banyak protes dari orangtua murid karena menghapuskan mata pelajaran Bahasa Inggris dari sekolah dasar. Banyak orangtua yang beranggapan bahwa penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris tersebut merupakan suatu kemunduran, karena sumber pengetahuan umum berbahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Bukan hanya itu, ada orang tua murid yang beranggapan jika anak-anak tidak dibiasakan dari kecil (untuk berbahasa Inggris) bagaimana anak-anak bisa go internasional nantinya. Catatan tentang penerapan kurikulum 2013 ini juga datang dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Timur. Meraka menyatakan bahwa, para pengajar belum tersentuh dengan kurikulum baru (2013) dan guru yang mata pelajarannya hilang atau disatukan butuh waktu untuk melakukan penyesuaian dengan penerapan kurikulum tersebut. Catatan selanjutnya adalah sistem evaluasi melalui ujian nasional (UN) yang dinilai terlalu kognitif (mengukur kepintaran), padahal kurikulum 2013 sendiri menampung tiga aspek yaitu: kognitif, perilaku, dan keterampilan.
b. Minimnya sarana prasarana serta mahalnya biaya pendidikan di Indonesia
Seperti yang kita ketahui saat ini, kualitas pendikan di Indonesia semakin terpuruk. Tidak hanya kualitas pendidik dan peserta didik saja melainkan sarana prasarana serta biaya pendidikan yang mahal juga menjadi problematika pendidikan di Indonesia. Kalau kita melihat UU sisdiknas bab XII tentang sarana dan prasarana pendidikan pasal 45 ayat 1 “setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, social, emosional, dan kewajiban peserta didik (Benny Susetyo:2005:196). Namun yang terjadi pada pendidikan di Indonesia saat ini yaitu minimnya sarana dan prasarana pendidikan di indonesia.
Sampai saat ini 88,8 persen sekolah di indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk dari SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, maka yang kita ingat pasti tentang mahalnya biaya pendidikan. Memang saat ini sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran akan tetapi kebutuhan peserta didik tidak hanya sekedar SPP. Masih ada kebutuhan yang lain seperti buku teks pengajaran, alat tulis, seragam, biaya transportasi dan lain sebagainya. Contohnya saja, apalah arti SPP yang bersubsidi kalau biaya buku mahal dan setiap tahun harus bergantiganti kurikulum, tarikan atau pungutan liar yang merajalela oleh oknum tidak bertanggung jawab, biaya ini itu dan seterusnya (Benny Susetyo:2005:129).
2. Profesionalitas Guru Berdampak pada Perkembangan Belajar Siswa
Pendidik atau bisa disebut juga dengan guru adalah orang yang membimbing seorang anak atau orang yang belum dewasa menjadi lebih dewasa dan matang, dalam hal ini berarti seorang pendidik atau seorang guru adalah orang yang lebih dewasa dari peserta didik atau anak. Hal itu sesuai dengan pengertian ilmu pendidikan yakni "Pendidikan adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang persoalan khasnya adalah menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik agar menjadi lebih dewasa dan matang.” (Harun Al Rasyid, Mujtahidin.2012:4).
Pendidikan mempunyai tiga arti, ialah arti yang luas, arti yang sempit, dan arti yang luas terbatas. "Pendidikan dalam arti yang luas adalah semua orang yang berkewajiban membina anak-anak. Secara ilmiah semua anak, sebelum mereka dewasa menerima pembinaan dan orang-orang dewasa agar mereka dapat berkembang dan bertumbuh secara wajar. Sebab secara ilmiah pula anak manusia membutuhkan pembimbing seperti itu karena ia dibekali insting sedikit sekali untuk mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini orang-orang yang berkewajiban membina anak secara alamiah adalah orang tua mereka masing-masing, warga msyarakat, dan tokoh-tokohnya." (Made Pirdata.2009:276).
"Dalam pengertian sempit, pendidikan adalah sekolah, yakni lembaga pendidikan sebagai salah satu hasil rekayasa dari peradaban manusia. Dalam pengerian sempit ini pendidikan tidaklah berlangsung seumur hidup, melainkan dalam waktu terbatas."(Harun Al Rasyid, Mujtahidin.2012:4) contohnya pendidikan SD berlangsung selama 6 tahun, pendidikan SMP berlangsung selama 3 tahun, begitu pula jenjang pendidikan selanjutnya.
"Dalam pengertian luas terbatas, pendidikan merupakan berbagai macam pengalaman belajar dalam keseluruhan lingkup kehidupan, baik sekolah maupun di luar sekolah, yang sengaja dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Pendidikan dalam pengertin ini bukan hanya sekedar pendidikan formal, melainkan juga pendidikan nonformal maupun pendidikan informal."(Harun Al Rasyid, Mujtahidin.2012:4).
Dalam profesionalitas guru hal yang perlu dikaji adalah (a) profesi pendidik, (b) Dampak yang ditimbulkan jika seorang pendidik atau guru yang tidak profesional.
a. Profesi Guru
Profesi atau bisa disebut dengan pekerjaan adalah sesuatu aktifitas yang pokok dalam kehidupan ini, jika bicara sebuah profesi semua orang pasti ingin atau mendambakan profesi atau pekerjaan yang mapan, layak, serta terpandang. Salah satu profesi atau pekerjaan yang dianggap mapan, layak, serta terpandang adalah profesi sebagai guru atau pendidik, sehingga tidak menutup kemungkinan semua orang ingin menjadi guru, karena banyak orang yang menganggap profesi guru ini adalah profesi yang sangat mudah dilakukan dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak, tidak hanya itu banyak orang yang menilai profesi guru adalah profesi yang hanya bermodalkan bicara atau ngomong.
"Guru dan dosen adalah pejabat profesional, sebab mereka diberi tunjangan profesional. Namun mereka secara formal pejabat profesional, banyak kalangan yang meyakini keprofesionalan mereka, terutama guru-guru. Mengapa demikian? Sebab masyarakat pada umumnya melihat kenyataan bahwa (1) banyak sekali guru maupun dosen melakukan pekerjaan yang tidak memberi keputusan kepada mereka,dan (2) menurut pendapat masyarakat, pekerjaan mendidik dapat dilakukan oleh siapa saja." (Made Pirdata.2009:277).
Mengkaji dari ungkapan ungkapan di atas maka kini kita berbicara tentang profesionalitas seorang guru. Sebelum kita membahas bagaimana seharusnya seorang guru itu dalam bekerja sehingga anggapan-anggapan masyarakat tentang profesi yang dianggap sebagai profesi yang mudah, baiknya kita tahu apa yang disebut dengan profesionalisme.
"Schein (1972), mengemukakn ciri-ciri profesional sebagai berikut: (1) bejerja sepenuhnya dalam jam-jam kerja (fulltime), (2) pilihan pekerjaan itu didasarkan pada motivasi yang kuat, (3) memiliki seperangkat pengetahuan, ilmu, dan keterampilan khusus yang diperoleh lewat pendidikan dan latihan yang lama, (4) membuat keputusan sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan atau menangani klien, (5) pekerjaan berorientasi kepada pelayanan, bukan untuk kepentingan pribadi, (6) pelayanan itu didasarkan kepada kebutuhan objektif klien, (7) memiliki otonomi untuk bertindak dalam mennyelesaikan persoalan klien, (8) menjadi angota organisasi profesi, sesudah memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu, (9) memiliki kekuatann dan status yang tinggi sebagai eksper dalam spesialisasinya dan (10) keahlian itu tidak boleh diadvertensikan untuk mencari klien." (Made Pirdata.2009:277-278).
Setelah kita tahu apa itu profesionalitas sekarang pertanyaan yang melintas dalam pikiran kita apakah para guru atau pendidik di indonesia ini sudah berada dalam atau sudah tergolong dalam dalam guru atau pendidik yang profesional?. Jika kita katakan sudah, mengapa masih ada seorang guru atau pendidik yang berada di sebuah lingkungan pendidikan atau sekolah tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup untuk mengajar?, bukankah hal itu berbahaya?.
b. Dampak yang Ditimbulkan jika Seorang Pendidik atau Guru yang Tidak Profesional.
Jika kita kaji lebih mendalam tentang profesionalitas seorang guru maka kita juga bicara tentang siswa atau peserta didik, karena yang paling besar terkena dampak dari ketidak profesionalnya guru adalah peserta didik. Di sini peserta didik tidak mengerti guru yang profesional itu seperti apa, yang mereka tahu hanya mereka menjalankan kewajiban mereka sebagai seorang murid yaitu belajar. Pada akhirnya output yang dihasilkan dari ketidak profesionalnya guru adalah perkembangan belajar siswa atau peserta didik baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotoriknya akan terhambat.
Penyebab ketidak profesionalannya seorang guru sangatlah banyak sekali diantarannya, yaitu proses perekrutan guru yang perlu dipertanyakan, mengapa demikian? karena sekarang banyak sekali guru yang tidak sesuai dengan standar yang ditentukan untuk menjadi seorang guru, tidak hanya itu ketidak sesuaian jurusan yang dulu diambil pada perguruan tinggi oleh seorang guru tersebut pun juga menjadi masalah, contohnya bisa kita lihat maupun kita dengar saat ini yakni banyak sekali guru SD yang dulu notaben pendidikan di perguruan tingginya tidak pada jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) ataupun juga ada guru SD yang dulunya hanya lulus pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Hal-hal di atas menggambarkan sekali standar pendidikan yang ada di Indonesia saat ini, jika pendidiknya saja tidak sesuai dengan standar yang ditentukan, maka bagaimana dengan peserta didiknya?. Jika seorang pendidik atau guru tidak sesuai dengan standar yang ditentukan maka seorang pendidik, tidak akan tahu apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan belajar siswa, aturan-aturan pendidikan yang harus dipatuhi, serta dampak jika seorang guru tidak mampu menyampaikan informasi dengan baik.
3. Rendahnya Mutu Output Pendidikan
a. Rendahnya Prestasi Siswa
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Rendahnya prestasi siswa misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Kurang pedulinya pihak orangtua siswa terhadap pendidikan anaknya khususnya di daerah pedesaan. Seharusnya orangtua siswa sepenuhnya membebankan pendidikan anaknya terhadap guru, karena guru mendidik anak hanya sekitar 5 – 7 jam di sekolah. Orangtua siswa harus memperhatikan anaknya di rumah, tanyakan apakah ada PR?. Kalau ada PR suruh dikerjakan bila perlu dan bisa alangkah baiknya bila orangtua membimbing anaknya dalam membuat PR. Bila tidak ada PR tetap anak disuruh belajar walau besoknya tidak ada ulangan.
Siswa kurang motivasi dalam belajar bila hal ini terjadi, ini adalah tugas bersama guru dan orangtua untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Beri pengertian dengan bahasa sederhana dan komunikatif pentingnya belajar untuk bekal hidup dan masa depan sebagai jembatan untuk mencapai cita-cita.
Dampak buruk dari alat elektronik seperti televisi dan Play Station atau game. Seharusnya televisi mempunyai dampak positif terhadap ilmu pengetahuan. Tetapi kebanyakan anak bahkan orangtua kurang senang menonton berita, mereka lebih senang menonton sinetron atau acara gosip. Seharusnya anak dibimbing dan dibatasi waktunya menonton televisi. Anak juga jangan sampai kecanduan bermain game hingga lupa pada tugasnya untuk belajar, main game juga perlu dibatasi waktunya misalnya hanya pada hari libur saja dengan durasi waktu maksimal 2 jam.
Adapun gejala – gejala rendahnya prestasi belajar siswa sebagai berikut
1. Siswa kurang merasa senang atau kurang semangat dalam belajar.
2. Siswa mengikuti pelajaran semata – mata agar tidak tinggal kelas.
3. Siswa mengikuti pembelajaran bukan untuk menambah ilmu, tetapi diharuskan mengikuti.
4. Prestasi belajar rendah karena motivasi belajarnya rendah.
C. Penyelesaian Problematika Pendidikan di Indonesia
1. Solusi untuk Pemerintah
Di dalam pembenahan pendidikan nasional diperlukan kepemimpinan pendidikan nasional (educational leadership). Kepemimpinan pendidikan memerlukan adanya suatu sistem yang mantap serta sumber daya manusia yang professional. Sistem yang mantap meliputi peranan pemerintah, tenaga-tenaga pendidik yang profesional, dan peserta didik itu sendiri.
Partisipasi masyarakat setempat yang memiliki pendidikan itu sendiri harus dihargai dan diberikan tempat serta peranan untuk mngurus pendidikan itu. Di sinilah letak pentingnya kepemimpinan pendidikan agar supaya arah yang sudah baik dan jelas dapat memenuhi sasarannya. Sasaran yang baik tanpa kepemimpinan professional akan gagal. Oleh sebab itu pula, birokrasi pendidikan yang fleksibel perlu dinahkodai oleh pemimpin-pemimpin pendidikan professional (H.A.R. Tilaar, 2009:75).
Upaya penyelesain untuk msalah sarana dan prasarana serta mahalnya biaya pendidikan yaitu:
a. Pengembanagan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar. Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini meliputi pembanguan gedung sekolahan, laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana olah raga, dan fsilitas pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal. Jika sarana belajar ini telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Peniungkatan adminisrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran.
2. Solusi Untuk Pendidik
” Seorang guru akan menjadi karyawan yang profesional jika:
a. Dievaluasi setiap tahun dengan cara yang adil dan komprehensif. Hal yang terbaik adalah jika kriteria penilaiannya datang dari guru sendiri. Dengan bekerja dalam komite mereka merumuskan sendiri kriteria penilaiannya. Jika sekolah efektif dalam menilai guru maka guru akan senang berbuat yang terbaik karena ia tahu akan diapresiasi sekolah lewat peningkatan pendapatan (gaji) yang meningkat sesuai dengan hasil evaluasinya.
b. Di apresiasi kerja kerasnya. Jika sekolah yang meminta gurunya berbahasa Inggris saat mengajar, maka sekolah juga lah yang mesti melatih gurunya berbahasa Inggris dan memberikan tunjangan tergantung kemampuan bahasa Inggris guru tersebut.
c. Diperhatikan keluarganya. Penting bagi seorang guru merasa bahwa sekolah memperhatikan keluarganya. Caranya bisa lewat asuransi bagi anak istri, pinjaman lunak atau sekedar jalan-jalan akhir tahun bersama keluarga, melepas penat setelah setahun sibuk mengajar.
d. Diperlakukan dengan adil, jika guru merasa atasannya pilih kasih maka ia akan kehilangan kepercayaan pada sekolah sebagai institusi tempat ia bekerja dan jadi tidak maksimal dalam bekerja.
3. Solusi untuk anak didik
a. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan.
b. Adanya kepedulian dari orangtua untuk pendidikan anaknya dan ikut turut memotivasi anaknya agar terus bersemangat belajar.
c. Menanamkan pendidikan moral, agama, dan disiplin waktu.
0 komentar:
Posting Komentar