A. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani dalam bahasa inggris lebih dikenal dengan sebutan “Civil Society”. Masyarakat madani yang merupakan terjemahan dari kosa kata bahasa arab mujtama’ madani, secara etimologis mempunyai dua arti. Pertama, masyarakat peradaban, karena kata “madani”merupakan turunan dari kata “tamaddun” yang berarti peradaban. Kedua, masyarakat kota, karena kata “madani” berasal dari kata “madinah” yang berarti “kota”.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang mengacu kepada masyarakat Madinah yang berada di bawah pimpinan Rasulullah ketika Rasulullah hijrah ke Madinah. Beliau membangun tatanan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban (Haidar Putra Daulay, 2004: 31-32).
Masyarakat madani dalam pandangan Islam adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan iptek. Masyarakat madani yang menjadi sentral idealisme yang diharapkan oleh masyarakat seperti yang tercantum dalam (QS. Saba’, 34:15).
Yang artinya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhan-mu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’ 34:15)
Masyarakat yang sejahtera dan bahagia itulah yang oleh Allah dijadikan negara ideal bagi ummat Islam dimana pun dan yang hidup diabad mana pun, mempunyai cita-cita untuk hidup dalam negara yang baik dan sejahtera, dan bertaqwa kepada Allah swt. Sebuah masyarakat yang sarat dengan nilai dan moral, maju, beradab, serta sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan sosial antar komponen masyarakat madinah telah diatur secara formal, sebagaimana tergambar dalam perjanjian madinah.
Memang, masyarakat seideal masyarakat Madinah telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, “tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku” terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, atau siapa periwayatnya (Dony Burhan Noor Hasan DKK, 2013: 49).
B. Konsep Masyarakat Madani dan Karakteristiknya
1. Konsep Masyarakat Madani
Dalam masyarakat madani sistem sosial dibentuk untuk menjadi jembatan keseimbangan tentang hak-hak kebebasan individual dan keterkaitan seseorang dalam masyarakat, dengan tujuan membentuk peradaban maju yang memiliki prinsip moral mulia berdasarkan Al-Qur’an.
Konsep ini tidak terlepas dari keyakinan bahwa muslim yang diciptakan Rasulullah Saw di Madinah adalah contoh kelompok sosial terbaik yang pernah ada. Saat itu, sebenarnya di daratan Arabia prinsip kebanggaan terhadap suku-suku atau klan masing-masing sangat kental. Namun, Nabi Muhammad Saw bisa menciptakan sebuah suku yang meleburkan sekat-sekat suku, kedudukan sosial (kaya dan miskin), dan status kemerdekaan (majikan atau orang merdeka dengan budak) menjadi sebuah masyarakat yang menyeru pada kebaikan yang sesuai dengan petunjuk Allah, dan menghindari segala bentuk kemungkaran. Yang perlu diperhatikan ketika kemudian sebuah bangsa menyusun masyarakat madani yang berkaca pada masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad Saw yang hendak ditiru bukanlah struktur sosialnya, melainkan sifat-sifatnya.
2. Karakteristik Masyarakat Madani
a. Masyarakat Rabbaniyah
Masyarakat madani merupakan masyarakat Rabbaniyah. Semangat berketuhanan yang dilandasi tiga pilar, yaitu aqidah, syari’ah, dan akhlak. Ketiga pilar menyatu menjadi satu ibarat tali berpilin tiga yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi anatara satu dengan yang lainnya pula. Di zaman Rasulullah setiap pribadi muslim memanifestasikannya dalam pribadi masing-masing.
b. Masyarakat yang demokratis
Rasul dan para sahabatnya mentradisikan musyawarah dalam segala persoalan dan Rasulullah tidak keberatan menarik pendapatnya apabila ada pendapat yang lebih baik. Masyarakat yang memandang sama manusia di depan hukum, bahkan beliau pernah bersabda “seandainya Fatimah mencuri niscaya akan kupotong tangannya”. Masyarakat demokrasi juga tercermin dalam sikap kaum muslimin, dengan melakukan pemilihan khalifah yang tidak berdasarkan kepada sistem monarki, tetapi lebih condong kepada sistem demokrasi yang dilakukan oleh negara-negara modern sekarang.
c. Masyarakat yang toleran
Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang plural, dari segi suku mereka terdiri dari berbagai etnik. Dari sisi agama selain dari Islam dan Yahudi dan lain sebagainya. Kehidupan toleran itu diikat oleh Rasulullah dalam satu ikatan yang disebut Constitution of Madinah (piagam Madinah atau Mistaqul Madinah). Konstitusi itu disetujui oleh kelompok-kelompok masyarakat (Nasrani, Muslim, dan Yahudi) (Muhammad Hari Zamharir, 2004: 13). Perjanjian Madinah ini berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan rasul sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusannya dan memberi kebebasan bagi penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
d. Berkeadilan
Masyarkat Madinah berasal dari berbagai suku dan agama yang berbeda. Meski berbeda, mereka tidak pernah mendiskriminasi kaum minoritas dan kaum mayoritas tidak pernah merasa lebih berkuasa.
e. Masyarakat berilmu
Ilmu merupakan salah satu pilar yang ditegakkan Rasul dalam membangun masyarakat Madinah. Penerapan masyarakat berilmu ini telah dimulai oleh Rasulullah dengan memberantas buta aksara di kalangan kaum muslimin dengan cara membebaskan tawanan perang yang mampu mengajari kaum muslimin menulis dan membaca sebagai tebusannya. Semangat keilmuan ini pulalah yang mendorong kaum muslimin yang terdiri dari sahabat-sahabat Rasul unuk menimba ilmu aqliyah (IPTEK) tatkala mereka menaklukan wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat peradaban Yunani di Asia, yakni wilayah Syam (Syria), Irak, dan Iran. Dari hasil kontak pertama kaum muslimin itu pulalah mulai timbulnya era penerjemahan ilmu pengetahuan aqliyah ke dalam bahasa Arab. Upaya-upaya penerjemahan inilah yang merupakan cikal bakal pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
f. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama
Hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan.
Secara umum masyarakat yang beradab berciri;
1) Kemanusiaan.
2) Saling menghargai sesama manusia.
3) Sebagai makhluk Ilahi dalam kehidupan bersama dalam masyarakat yang warga (civitasnya) pluralistik.
4) Memiliki berbagai perbedaan, akan tetapi mengembangkan kehidupan individu yang demokratis.
5) Pemimpin yang mengayomi warga.
6) Masyarakat merasa dilindungi oleh sesama warga karena penghargaan hak-hak dan kewajiban masing-masing.
C. Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan da terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 110. Yang artinya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dari ayat di atas sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia jumlah umat Islam ±85% tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
Dalam kontek masyarakat Indonesia, dimana umat Islam adalah mayoritas, peranan umat islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat menentukan. Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat Islam. Peranan umat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain. Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang untuk menyalurkan aspirasinya secara kontruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi umat Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbansga dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun umat Islam secara kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar ma’ruf nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan di semua sektor, kurangnya rasa aman, dan lain sebagainya. Bila umat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.
D. Perana HAM dan Demokrasi dalam Islam
1. HAM dalam Islam
Berbicara tentang HAM menurut Islam, harus merujuk pada ajaran Allah dan apa yang diperbuat Nabi Muhammad saw, jauh sebelum lahirnya piagam-piagam Hak Asasi Manusia di Barat. Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi saw pada tahun 622 M. Merupakan konstitusi yang menjunjung hak asasi manusia. Konstitusi itu secara tegas melarang adanya diskriminasi dan penindasan serta memberi kebebasan dalam melaksanakan agamanya masing-masing.
Ada perbedaan prinsipil antara HAM menurut barat dengan HAM menurut Islam. HAM menurut barat bersifat anthroposentris, berpusat pada manusia, sehingga ukuran-ukuran kebenarannya adalah menurut manusia. Dalam hal ini HAM bertumpu pada individualisme-liberalisme, sehingga bersifat subjektifitas. Oleh karena itu, sesuatu yang menjadi kemauan manusia, dibiarkan untuk dilaksanakan kendatipun destruktif. Sementara HAM menurut Islam bersifat theosentris, yaitu berpusat pada Allah, dalam pengertian bukan pada oknumnya, tetapi pada ajaranya, yaitu al-Qur’an menurut sunah rasul. Oleh karena itu, ukuran kebenaran yang harus diperbuat manusia adalah menurut Allah, seperti yang diajarkan al-Qur’an dan dipolakan oleh Rasul saw.
HAM menurut Islam berprinsip menjunjung tinggi martabat manusia. Di samping itu HAM menurut Islam juga menghendaki adanya beberapa hal seperti berikut ini:
a. Hak Persamaan
Setiap individu telah lahir dengan memiliki haknya masing-masing dan hal itu tidak dapat dipungkiri.
b. Kebebasan menyatakan pendapat
Kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat atau pikiran bagi setiap orang juga jelas diajarkann oleh Islam. Seperti ajaran berdemokrasi dengan system musyawarah, dan semua kegiatan dalam kebaikan (amar ma’ruf nahi munkar).
Prinsip kebebasan menyatakan pendapat adalah kebebasan yang dibimbing ajaran Allah, yaitu al-Qur’an menurut sunnah rasul. Manusia bebas berbicara dan berprilaku sesuai dengan ajaran Allah. Kebebasan menyatakan pendapat merupakan perwujudan dari instruksi Allah. Prinsip hak atas jaminan sosial dalam prinsip ini ditegaskan bahwa pada harta orang kaya terdapat hak fakir miskin. Oleh karena itu, orang Islam diharuskan membayar zakat.
c. Kebebasan beragama
Setiap individu memiliki hak untuk memilih agama yang mereka yakini karena didalam Islam ini tidak mengenal yang namanya diskriminasi agama yang ada hanyalah toleransi beragama.
d. Jaminan sosial
Setiap orang mempunyai hak untuk bersosialisasi dengan siapapun, tidak memandang status, agama dan suku. Dan memiliki jaminan keamanan dan kenyamanan dalam masyarakat.
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugrahi hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangan bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia. Ada perbedaan prinsip antara hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang Barat dan Islam. Pemikiran Barat menempatkan manusia sebagai tolok ukur segala sesuatu, sedang dalam Islam Allah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu dan manusia adalah ciptaan Allah yang diciptakan dengan tujuan antara lain untuk mengabdi kepadanya.
Oleh karena itu, hak asasi manusia dalam Islam tidak semata-mata menekankan pada hak asasi manusia saja, tetapi hak-hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya.
2. Demokrasi dalam Islam
Dalam konsep demokrasi modern, kedaulatan rakyat merupakan inti dari demokrasi, sedang demokrasi Islam meyakini bahwa kedaulatan Allah yang menjadi inti dari demokrasi. Kedaulatan mutlak menentukan pemilihan khalifah, yaitu yang memberikan kerangka kerja seorang khalifah. Konsep demikianlah yang dikembangkan para cendikiawan belakangan ini dalam mengembangkan teori politik yang dianggap demokratis. Dalam teori tersebut tercakup definsi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah. Penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak memberikan perhatian pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi Islam dianggap sebagai system yang mengkukuhkan konsep-konsep islami yang sudah lama berakar yaitu
a. Musyawarah (syura)
Menurut bahasa, syura memiliki dua pengertian yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu.
Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki. Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir.
“Setiap kaum yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka” [Al Adab karya Ibnu Abi Syaibah 1/149].
b. Persetujuan (ijma’)
Menurut bahasa, Ijma’ adalah kata benda verbal (mashdar) dari kata ???? yang mempunyai dua makna, memutuskan dan menyepakati sesuatu.
Ijma’ atau kosensus didefinisikan sebagai persetujuan para ahli hukum Islam pada masa tertentu tentang masalah hukum Islam.
QS. Yunus: 71
Yang artinya: “maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-kutumu” (QS.Yunus:71).
c. Penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad)
ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang berartu mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban.
Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran.
Sedangkan menurut istilah, pengertian ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum.
Hadist yang berhubungan dengan ijtihad Al-Hasyr: 7.
Yang artinya: “Dan apa yang Rasul berikan kepadamu hendaklah kamu ambil, dan apa yang Rasul larang kepadamu hendaklah kamu hentikan, dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah keras siksa-Nya.” (Al-Hasyr: 7).
Istilah-istilah diatas, tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteksdalam wacana muslim dewasa ini. Namun lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi dalam masyarakat muslim. Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Oleh karena itu, perwakilan rakyat dalam sebuah Negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura). Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara.
Di samping musyawarah, ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yakni consensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam pemikiran muslim modern, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus mendapat saluran yang lebih besar untuk mengembangkan hukum Islam dan menyesuaikannya dengan kondisi yang terus berubah.
Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas.
Selain syura dan ijma’ ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan pemerintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan maknanya, namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di dunia Islam, istilah-istilah ini memberi landasan yang efektif untuk memahami hubungan antara Islam dan demokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar